Kamis, 29 Januari 2009

Munajat (Rindu Rasul)


Alangkah rindunya kami kepadamu, ya Muhammad. Ingin kami belajar banyak, kursus kepadamu mengenai cara-cara yang engkau tempuh sehingga engkau dapat membalik kondisi umat yang sebelumnya jahiliyah, bodoh, barbar sampai tega membunuh bayi-bayi perempuannya, generasi terlupakan dan tidak diperhitungkan menjadi kaum yang besar, penakluk dan ikhlas. Engkau berhasil membentuk mereka menjadi generasi Robbani yang, Subhanallah, generasi yang begitu hebat sehingga dikatakan sebagai generasi terbaik hanya dalam waktu sekitar dua puluh tahun. Ini yang ingin sekali kami pelajari darimu, ya Muhammad. Makanya kami rindu sekali, ingin bertemu, ingin belajar banyak darimu, rindu sekali, terutama di tengah masyarakat yang sedang carut-matur seperti ini, masyarakat yang hampir-hampir mirip dengan atau bahkan melebihi bobroknya masyarakat yang dulu pernah engkau hadapi.

Hai, hati siapa yang tak kan terharu bila mengingat bahwa kaum yang engkau bina sebelumnya adalah kaum yang bermusuhan, saling bunuh tetapi kemudian mereka disatukan dengan satu kalimat tauhid, lailaha illallah, tiada tuhan selain Allah. Rindu siapa yang tak mengharu bila kejayaan dunia berada di genggaman mereka tetapi juga keikhlasan persaudaraan memancar tanpa keangkuhan. Merekalah hasil didikanmu wahai Muhammad, tentara yang dikirim perang yang dapat berbusung dada dalam kerendahan hati tanpa kesombongan sambil panglima mereka memuji bahwa mereka seperti singa di siang hari tetapi seperti rahib di malam hari. Merekalah hasil didikanmu yang berjuang mempertaruhkan nyawa menghadapi musuh di tengah alam yang keras tetapi mampu bangun di tengah malam bermunajat kepada Ilahi. Kami di sini bukan berperang bukan pula di tengah alam yang ganas, bekerja di tengah berbagai fasilitas kemudahan dan dapat beristirahat dengan tenang tanpa kekhawatiran tiba-tiba diserang, tetapi justru begitu sulit untuk sekedar bangun malam bahkan subuh pun sering kesiangan. 

Ya Muhammad, bagaimana kami bisa seperti mereka? Apa yang engkau ajarkan kepada mereka?

Wahai, alangkah tersentaknya kami ketika kami menyadari bahwa engkau katakan telah meninggalkan kepada kami dan kepada orang-orang semuanya dua warisan , dua pegangan sebagai bahan pelajaran agar bisa terbentuk generasi seperti generasimu. Engkau bahkan nyatakan kedua warisan ini akan membimbing sampai pada tujuan dan tidak akan sesat siapa saja yang mau berpegang kepadanya. Ya, sekarang kami sadar ternyata memang engkau meninggalkan warisan yang sangat besar. Ternyata, kami saja yang tidak pernah mendalami peninggalanmu itu, Ya Muhammad. Maafkan kami atas kelalaian kami selama ini. Terkadang kami memang membacanya tanpa pernah berusaha memahami maksudnya. Maaf, maafkan kami, ya Muhammad. 


Hanya, ya kami memang terkadang merasa rindu bertemu, ingin belajar, bertemu langsung denganmu. Kami merasa bahwa sekarang ini yang sangat kami butuhkan adalah pemimpin yang dapat kami tauladani tanpa plin-plan. Kami temukan dalam pribadimu yang bersahaja terkumpul sifat-sifat kepemimpinan yang dapat mengeluarkan kami dari keterbelakangan seperti sekarang ini. Kami tidak pernah menjadi tuan atas diri kami sendiri tetapi selalu menjadi budak bahkan oleh nafsu keserakahan kami. Dunia yang memperdaya, status jabatan dan necisnya pakaian selalu saja menyibukkan kami untuk sekedar berbagi senyum, berbagi salam dengan saudara-saudara kami. Berbangga-bangga dengan kekayaan dan menghitung-hitung simpanan bunga bank, telah menyebabkan dahi kami berkerut dan hari-hari kami dipenuhi hitungan-hitungan rugi laba, hilang kepedulian kepada sesama. Bahkan kebesaran jabatan kami, kemegahan fasilitas hidup kami telah melalaikan untuk sekedar bersujud memuji kebesaran Ilahi. Lingkaran rukuk sujud sholat kami seringkali hanyalah ibadah rutin, gersang tanpa keikhlasan. 

Kami rindu kepadamu, Ya Muhammad. Kami ingin menjadi sebenar-benar pengikutmu yang kelak di akhirat engkau akui sebagai pengikutmu.

Sumbawa, 10 Juni 2002

Tidak ada komentar: